Thursday, June 26, 2008

Perkembangan Komik Indonesia

Komik Indonesia mengalami masa jayanya pada tahun 50-80an. Pada periode 1950-an mulai bermunculan komik buatan Indonesia dengan resep komik Amerika (Wiro Anak Rimba), namun yang menonjol pada era ini adalah genre humor dan wayang. Kho Wan Gie (Put On) dan Goei Kwat Siong (Si A Piao) boleh dibilang sebagai pelopor masuknya komik strip ke dalam media koran saat itu.

Periode 1960-an dimulai dengan berkembangnya komik genre fantasi petualangan (Taguan Hardjo dengan Mati Kau Tamaksa), yang kemudian dilanjutkan dengan lahirnya cerita silat mulai tahun 1968. Nama Oerip, Hans, Teguh Santosa, Hasmi, dan U Sjah mulai dikenal luas lewat karya-karyanya yang keren. Selain itu, juga muncul beberapa genre lain, misalnya wayang, fantasi, roman sejarah, maupun roman petualangan (Sandhora) dan silat romantik (Mutiara).

Periode 1970-an muncul banyak komik fantasi Indonesia, yang merupakan pengaruh masuknya komik superhero Amerika terbitan Marvel Comics, DC Comics, dan lainnya. Bahkan beberapa komikus banyak beralih membuat komik fantasi seperti Kus Bram. Selain itu juga muncul genre silat dengan fantasi dan mistik. Dalam era ini, komik silat tetap berkembang terbukti dengan munculnya nama Ganes TH, yang sangat dikenal lewat karakter Si Buta Dari Gua Hantu. Pada masa juga sempat menjadi era boomingnya cerita dongeng HC Andersen, yang kisahnya sangat digemari anak-anak masa itu. Di tahun 1975-an genre silat fantasi mengalami masa jayanya, dengan muncul komikus Jan Mintaraga dan Gerdi WK. Teguh Santosa sendiri juga banyak membuat kisah sejenis pada masa ini, sedangkan komik silat dan roman menjadi pilihan lainnya bagi para kaum muda pecinta komik.

Periode 1980-an adalah periode dimana muncul berbagai tema secara berbarengan, mulai dari silat, wayang, humor, fantasi maupun drama. Sebagian merupakan karya-karya baru, dan yang lainnya merupakan hasil cetak ulang akibat besarnya permintaan pasar saat itu. Salah satu komikus yang beken pada masa itu dengan kisah silatnya yang memikat adalah Man (Dewi Lanjar). Sayangnya, mendekati tahun 1985-an, muncul berbagai komik saduran dalam hal tema dan gaya penggambaran. Para komikus muda ini meminjam gaya komikus senior yang karyanya laku di pasaran, terutama terjadi pada genre silat. Semuanya ini akhirnya menimbulkan persaingan kurang sehat, dan disaat inilah para komikus mulai kehilangan idealismenya dan membuat komik sekedar mengikuti perintah penerbitnya. Sehingga dimulailah masa kemerosotan komik Indonesia.

Sejak tahun 1985-an, mulai jarang ditemukan komik baru. Kalaupun ada, itu merupakan cetakan ulang. Saat itulah, komik dari luar mulai gencar menyerbu Indonesia yang sedang dalam kondisi memprihatinkan karena kehilangan jati dirinya. Akhirnya komik Indonesia benar-benar hilang dalam waktu singkat, sehingga generasi muda yang lahir setelah masa tersebut tidak pernah mengecap asyiknya membaca komik serian buatan anak-anak negeri sendiri. (Animonster #25, 2001: 52-59).

Gerakan komik lokal 90-an. Setelah kemandegan komik lokal hingga awal 90-an, generasi baru mulai muncul. Anak-anak muda 90-an tumbuh bersama kejayaan kapitalisme, budaya pop global serta arus informasi yang begitu deras dari bermacam media. Penyikapan terhadap komik lokal mulai terlihat pelan-pelan, meski tidak bisa dibilang sebagai sebuah gerakan yang besar. Generasi baru 90-an sebagian besar adalah para mahasiswa perguruan tinggi di kota-kota besar terpusat di Jakarta, Bandung, Yogya pelan-pelan mulai membangun frame gerakan komik masing-masing. Pergesekan dengan wilayah-wilayah lain seperti politik, sastra, filsafat, seni murni yang akrab menjadi wacana mahasiswa cukup mempengaruhi mereka. Regenerasi komik lokal yang terputus total ternyata menghasilkan generasi yang betul-betul baru dan sama sekali tidak mewarisi gaya komik lokal sebelumnya.

Komikus-komikus muda cenderung menerima pengaruh dari style komik Jepang dan Amerika. Meski tidak semua mengadopsi gaya tersebut, tapi pilihan terhadap gaya Jepang atau Amerika nampak pada komikus atau studio komik yang lebih berorientasi pada kondisi pasar sekarang. Kebingungan terhadap komik yang mencerminkan gaya Indonesia bisa dipahami, mengingat komik dengan gaya Indonesia jaman 60 dan 70-an sudah lama mati tanpa sempat melakukan regenerasi. Hampir 20 tahun publik komik kita tidak mengenal komik Indonesia lagi hingga generasi 90-an ini muncul.

Salah satu karya yang cukup fenomenal dari generasi ini adalah terbitnya komik Caroq kemudian disusul Kapten Bandung di bawah bendera Qomik Nasional (QN). Meski Caroq masih kental dengan gaya Marvel, dan Kapten Bandung dengan Herge (Tintin), kemunculan mereka sempat mencuri perhatian publik komik Indonesia. Caroq bahkan sempat dicetak 10 ribu eksemplar. Sayang, QN tidak bertahan lama, meski sudah menerapkan manajemen profesional ala industri komik Amerika. Tahun 1999 akhirnya QN resmi bubar setelah sempat vakum pasca Caroq dan Kapten Bandung (terbit 1996). Selain QN masih ada beberapa nama lagi yang sempat muncul seperti Sraten dengan komik Patriot yang mendaur ulang hero-hero lawas seperti Godam, Gundala, Maza dan Aquanus tapi nasibnya tak jauh beda dengan QN. Begitu pula dengan Animik dengan komik Si Jail yang mirip Kungfu Boy-nya Takeshi Maekawa. Elex Media sebagai penerbit komik Jepang terbesar di Indonesia sempat juga menerbitkan Imperium Majapahit, serta mendaur ulang seri komik wayangnya RA Kosasih dan komik Panji Tengkorak yang gregetnya tidak sedahsyat dulu lagi. Mizan pun tidak ketinggalan membuat divisi penerbitan komik, bekerja sama dengan beberapa komikus dan studi-studio komik, meluncurkan komik serial 1001 Malam kemudian disusul karya Dwi Koen, “Sawung Kampret”.

Komik underground, selain fenomena terbitnya komik lokal pada jalur mainstream, era 90-an juga ditandai munculnya komik-komik gerilya yang terbit dengan modal seadanya. Komik-komik tersebut sebagian besar digandakan hanya dengan mesin fotokopi yang beredar hanya dari tangan ke tangan, melalui perkawanan, dan dari event ke event tanpa jalur distribusi yang pasti sebagaimana komik industri yang tersebar lewat jaringan toko-toko buku besar. Kelompok-kelompok maupun perorangan yang berkarya melalui jalur underground akhir-akhir ini pun makin marak. Komik tersebut rata-rata muncul berbasis di kampus-kampus, dimotori oleh mahasiswa. Sebagai sebuah gerakan, komik underground dengan sudut pandang yang berbeda boleh jadi tidak kalah gemanya dengan Caroq-nya QN meski berbeda jalur. Tema yang ditawarkan komik underground sangat berbeda, tidak terpaku pada heroisme ala komik mainstream, bahkan cenderung menolak budaya dominan.

Cukup banyak contoh kelompok yang bergerak secara undergound, tapi barangkali yang dilakukan oleh Core Comic (1995) kemudian beralih ke Apotik Komik cukup menyentak perhatian publik. Kompilasi komik fotokopian dengan tema Paint It Black, Komik Game, Komik Anjing, dan Komik Haram memberi inspirasi tumbuhnya gerakan-gerakan serupa. Kecenderungan menampilkan tema anti hero bahkan anti narasi dan mendobrak pakem-pakem estetika komik mainstream, kadang dengan warna ideologis yang cukup kental mejadi ciri kuat komik underground. Bahkan eksplorasi komik sudah masuk dalam wilayah seni rupa yang kemudian lebih dikenal dengan art comic. Gerakan ini membutuhkan sebuah resistensi tinggi untuk bisa bertahan lama. Jika kendala komik lokal mainstream adalah pada kegagapan untuk masuk dalam kultur komik industri, maka komik underground sering hanya bersifat sementara saja, konsistensi untuk terus berkarya dan menjaga semangat ideologisnya masih belum teruji benar. Meski demikian siapa pun bisa mengaku underground hanya karena komiknya model fotokopian, padahal dari segi isi masih didominasi gaya mainstream baik dari tema, penampilan grafis, idiom yang dipakai hingga pada dataran filosofis-ideologisnya. Lepas dari apa pun isinya, gerakan komik fotokopian melahirkan semangat independen untuk tidak tergantung pada penerbit-penerbit besar. Meski sifatnya masih temporer dan sporadis, gerakan ini justru pelan-pelan mampu membangun jaringan antar komunitas komik independen, satu hal yang patut dihargai. (Agung ‘A’ Budiman, 2002).

Hingga era 90-an berakhir, wajah komik kita masih menjadi perdebatan. Semestinya persoalan identitas komik Indonesia tidaklah identik dengan mitos dan simbol-simbol yang telah dikonstruksi oleh masa lalu. Ketika dunia makin global, pertemuan antar elemen-elemen budaya melalui teknologi komunikasi tidak terbendung hingga ruang untuk mengkonstruksi identitas baru pun makin terbuka, dan selalu tetap terbuka untuk direkonstruksi atau pun didekonstruksi, mungkin nanti kita tidak perlu lagi istilah komik Indonesia, Jepang, Amerika atau Eropa. Biarlah generasi baru yang menentukan proses mereka sendiri.

Satu hal yang sangat ironis, sekarang banyak komikus muda sibuk dituntut untuk membuat “komik Indonesia”, padahal sebagian besar dari mereka hanya sempat membaca 1 atau 2 buah karya “leluhurnya”. Karena itulah banyak komikus muda yang sulit menemukan gambaran yang sempurna tentang komik Indonesia yang ideal. Padahal kalau dicermati, komik Indonesia masa lalu mengungkap fakta bahwa sejak dahulu para komikus senior tidak pernah memusingkan tentang bagaimanakah “komik Indonesia” yang sebenarnya. Terbukti bahwa mereka juga terpengaruh oleh komik-komik asing pada masa itu. Yang jelas, mereka membuat karyanya dengan sepenuh hati dan jujur, terlihat dari alur cerita yang menarik, karakter yang kuat, serta teknik berkomik yang luar biasa.

Share:

0 comments: